“Bang, bangun. Sudah mau mi imsak”. Bisik istriku di telinga si Sulung. Hampir sebulan terakhir, kalimat ini menjadi menu si Sulung ketika dibangunkan sahur. Tapi mantra dengan embel-embel “imsak” tak lagi ampuh. Alam bawa sadar si Sulung sudah bisa menjawab bahwa itu hanya sekedar “ancaman”. Tidur lagi ahhh…
Karena dianggap sudah kurang mempan, volumenya sedikit dinaikkan. Mantranya pun ikut diperpanjang. “Bang, THR ta berkurang itu”. Kalau sudah nyebut THR, si Sulung seperti Popoye usai mengonsumsi bayam. Matanya melek, semangatnya kembali full.
Di penghujung Ramadan, semangat berpuasa sudah mulai kendur. Jangankan anak-anak, orang dewasa pun demikian. Awalnya, fokus hanya ibadah. Namun jelang hari kemenangan, fokus pikiran mulai terbagi. Otak dijejali sederet rencana mengisi libur dan cuti bersama termasuk memenuhi kebutuhan lebaran.
Bagi perantau, opsi pertama adalah pulang kampung. Di grup WA dan medsos, tulisan dan video pendek bernada ajakan mudik sudah mulai ramai. Postingannya pun ikut dibumbui dengan kata-kata plus lagu yang menggugah jiwa untuk pulang. Esensinya, jiwa manusia akan tergugah jika diajak bernostalgia dengan kenangan manis masa lalunya.
Kenangan tak bisa diulang. Meski tempat dan personilnya sama, rasanya tetap berbeda. Waktu telah mengubah kepolosan diri. Saat bocah, OS (Operating System) otak belum terbebani aplikasi berkapasitas besar. Pikiran utama hanya ingin bermain. Ketika dewasa, banyak aplikasi harus diinstal dan diupgrade. Makanya, beban berpikir lebih kompleks.
Belakangan makna mudik sudah agak bergeser. Tak hanya sekedar menjenguk orang tua, sanak saudara dan handal taulan, mudik kerap menjadi ajang pamer kesuksesan. Tapi saya condong melihat hal itu dari sisi positif saja. Paling tidak, bisa menjadi motivasi bahwa sukses itu butuh kerja keras.
Apapun itu, mudik adalah momentum yang paling dinanti-nanti. Semegah-megahnya negeri perantauan, tak akan bisa mengalahkan kampung halaman. Dari sebuah literatur, Mudik merupakan tradisi primordial masyarakat Jawa sebelum zaman Kerajaan Majapahit. Mudik berasal dari frasa Jawa mulih disik. Artinya, pulang sebentar setelah bermigrasi ke suatu tempat.
Berbahagialah yang masih bisa mudik. Tidak semuanya orang bisa merasakan hal itu. Hanya para petarung hebat yang berani uji nyali menentang nasib di negeri orang. Untuk bisa maju dan memperbanyak kerabat serta memperluas keturunan, jelajahilah belahan bumi ini. Belajarlah dari Sultan Muhammad Al Fatih. Jika tak punya nyali, Kota Konstantinopel takkan bisa ditaklukan. (***)
Kendari 0504202